Bertani Itu Menyehatkan
pertanian organik yang cuma sepetak itu. hijau kan?
Bertani menyehatkan? Ya, pengalaman saya bertani itu bisa menyehatkan jiwa, lingkungan, dan juga tubuh kita.
Sore tadi saya panen. Sawah seluas satu petak hasil menyewa saat ini telah membuahkan hasil. Ini kali ke empat saya menikmati masa panen. Maklum saya menyewa sawah terhitung baru, baru satu tahun.
Awal saya tertarik bertani ketika saudara sepupu saya bilang, jika bertani itu banyak barakahnya. Setidaknya, kata saudara saya itu, 1 tahun saya tidak perlu repot membeli beras. Saya paling cuma mengeluarkan uang untuk beli lauknya. Beras hasul satu tahun itu tidak hanya cukup untuk dimakan, tapi juga dengan segala “keperluan lainnya”. Misalnya, melayat sama orang meninggal, ke undangan perkawinan, dsb.
Di desa saya memang tradisinya begitu. Kemana-mana ketika “ke undangan” atau melayat, orang di kampung saya biasa bawa beras. Normal yang dibawa juga tidak banyak, sekitar 4 kg. Makanya, hasil panen biasanya disimpan oleh petani. Kecuali kalau sudah sangat mendesak, baru dijual.
Bertani Menyehatkan Jiwa
Karena kesibukan saya jarang pergi ke sawah untuk melihat tanaman padi saya. Suatu hari, ketika saya pergi sawah menjaga burung pemakan padi, teman saya yang PNS bilang bahwa bertani itu menyehatkan jiwa. Dia bilang, bertani itu terapi. Kebetulan teman saya ini juga nyambi bertani.
Terapi? Ya, terapi kesehatan jiwa. Bayangkan, setiap kali ke sawah kita bisa melihat perkembangan tanaman. Setiap kali ada perkembangan, kebahagian tiba-tiba menyeruak dalam hati. Sungguh nikmat. Misalnya saja, saat baru menanam nampak tanaman masih menguning seperti kurang sehat. Tapi seminggu saja sudah berubah menjadi hijau. Makin lama, makin gagah dengan bulir-bulir buah. Terus hingga akhirnya sampai pada musim panen. Nah di setiap perkembangan itulah nampak sekali kepuasan batin melihat tanaman kita. Mulai sejak ditanam hingga panen.
Bagaimana jika gagal? Bagi saya juga menyehatkan. Saya melihat kesabaran petani sangat luar biasa menghadapi musibah. Kesabaran itu membuahkan kecerdasan hati. Kecerdasan hati ini yang selalu menjaga hubungan petani dengan Tuhan. Mengadukan segala permasalahannya kepada-Nya. Bisa dilihat, meski sering mendapat musibah gagal panen, atau harga jatuh saat panen, sangat jarang petani yang stress. Mereka tangguh. Setangguh baja. Mengatakan seperti ini, tidak berarti saya setuju pada segala bentuk penindasan kepada petani.
Bertani Menyehatkan Lingkungan dan Tubuh
Terus terang ketika bertani saya tidak sekedar mengharapkan hasil, meski ini tentu yang utama. Tetapi ada alasan lain kenapa saya bertani . Ceritanya begini :
Saya juga meniatinya untuk ikut menjaga lingkungan. Karena pertanian saya menggunakan pupuk organic. Awalnya begini, ketika petani sering menghadapi kesulitan pupuk kimia, saya mengundang teman akrab yang tahu banyak tentang pertanian organic, ke kelompok pengajian RT yang juga saya ikuti. Teman saya ini saya minta untuk mengkampenyakan pentingnya petani kembali lagi ke alam. Di samping ongkos produksi nantinya lebih murah, kebetulan bahan-bahan pupuk organi sudah tersedia.
Alhamdulillah ada dua anggota pengajian RT yang tertarik belajar membuat pupuk organic. Ketika membuat teman saya ini yang jadi mentornya. Bahkan teman saya ikut membantu sejak dari proses awal hingga selesai. Sayang dua anggota pengajian ini tidak mampu bertahan. Karena lebih praktis mereka pindah lagi ke pupuk kimia. Pada hal saya berharap banyak sama dua orang ini. Jika berhasil, pasti anggota pengajian yang lain juga ikut.
Karena sudah gagal, akhirnya saya bilang sama teman saya, “saya akan menyewa sawah meski hanya sepetak. Gimana kalau tanah ini kita jadikan demplot pertanian organic?”. Teman saya senang dan setuju. Jadilah saya menyewa tanah, dan atas bantuan teman mulailah saya bertani dengan pola organic. Pertanian ini saya maksudkan untuk dijadikan contoh bahwa pertanian organic akan lebih bagus hasilnya.
Terus terang sampai musim tanam ketiga sejak menyewa, tak ada warga desa saya yang mengapresiasi. Bahkan di musim tanam yang ke empat saat ini, tetangga saya bahkan sering menyuruh saya agar dicampur kembali menjadi fifty-fifty dengan pupuk kimia. Saya tak bergeming.
Bahkan ada teman saya yang lebih ekstrem lagi, “situ kan baru jadi petani? Saya sudah lama, jadi soal bertani sebaiknya belajar sama yang sudah lama”, katanya suatu ketika saat dia melihat sawah saya tidak sehijau sawah yang menggunakan pupuk kimia.
Ketika kemarin sawah saya dipanen, syukur alhamudulillah, hasilnya ternyata lebih baik dari sawah lain. Hasil produksinya lebih banyak, bulirannya lebih berat, di samping yang sangat nyata, ongkos produksinya juga lebih murah.
Saat ada pertemuan mingguan RT tadi malam, jamaah pengajian RT sudah mengakui bahwa pupuk organic ternyata tak kalah dari pupuk kimia. Meski saya sadar merubah kebiasaan bukan sesuatu yang gampang, tapi pengakuan itu sudah menjadikan saya optimis, cita-cita saya dan teman saya, suatu waktu warga desa saya akan beralih ke organic.
Dengan pola pertanian organic, saya merasakan kebahagian tak terkira. Melihat hasil pertanian sejak mulai ditanam, (makin) membesar, dan akhirnya panen terapi itu sudah bekerja dalam hidup saya. Saya bahagia.
Dengan pola pertanian organic, saya juga ikut mengurangi dampak iklim global meski melalui tindakan kecil seperti ini. Dan terakhir, melalui hasil pertanian organic saya ikut juga menyehatkan tubung dari ganasnya hasil pertanian kimia. Dan asal tahu saja, ada tetangga yang sudah memesan untuk membeli hasil pertanian saya, jika saya mau menjualnya.
Nah, ingin sehat jiwa, lingkungan, dan tubuh? Ayo bertani, tentu dengan pola organik.
oleh : A. Dardiri Zubairi
0 komentar:
Posting Komentar